Jumat, 21 Desember 2012

Desain Evaluasi Pendidikan



Dalam buku Mati Ketawa Cara daripada Soeharto ada lelucon kecil yang mungkin relevan dengan kondisi sosial dan pendidikan di negara kita, yaitu tentang kapitalis, sosialis, dan Pancasilahttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg87yzpWg4XwIEKcIe-QFQuh4I5Mcd5nPvd1YY6YT6tiUkemrXnmw79HCmLEjr7dpPaRP6H4uxvXQx8JVBbrkaAzgqVVpGebucUSi5T6m8QPagVL2b7bC8wnxYoNtUgvm_kgh8nvKTeG4HH/s1600/KEMP_01.gif“Apa bedanya kapitalisme dan sosialisme?” “Kapitalisme membuat kekeliruan sosial!,” “Sosialisme membuat kekeliruan kapital!” “Lha, kalau Pancasila?” “Pancasilaisme di bawah Orde baru membuat kekeliruan sosial sekaligus kekeliruan kapital!” Jika pertanyaan ini dilanjutkan apa kekeliuran Orde SBY dalam dua periode reformasi, jawabannya bisa jadi ujian nasional (UN).
Ada hipotesis menarik dari beberapa rekan praktisi pendidikan, yang mengatakan UN sebenarnya tanda ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan kompetensi guru. Sebab, jika kompetensi guru baik, soal tes sebenarnya sangat sederhana, yaitu kelas. Di kelas hanya ada guru dan siswa, dan jika gurunya kompeten dan memiliki cukup banyak pengetahuan dan inovasi dalam membuat skema tes yang lebih relevan dengan ragam talenta siswa, negara sesungguhnya tak perlu sibuk membuat UN.
Ketidakmampuan Guru
Dalam waktu yang lama, sesungguhnya proses pendidikan di muka bumi ini selalu menggunakan nonstandardized tests yang tanggung jawab penuhnya ada pada diri seorang guru. Tetapi sayangnya sejarah tentang nonstandardized tests juga banyak dinodai oleh ketidakmampuan guru dalam mengembangkan pola evaluasi secara kreatif dan berkelanjutan. Dahulu mungkin kondisi moral bisa jadi lebih baik, karena biasanya faktor keterpanggilan untuk menjadi guru memang tulus dan penuh pengabdian.
Sekarang, guru dalam beberapa hal memang dimanjakan pemerintah, terutama lewat program sertifikasi, tetapi kualitas yang diharapkan malah justru tak pernah muncul meskipun kesejahteraan guru membaik. Tak banyak guru yang mau menulis dan melakukan riset kelas dengan seksama. Yang menonjol malah membengkaknya jumlah kredit mobil guru di bank-bank pemerintah.
Di banyak kesempatan pelatihan, para guru diberi pertanyaan tentang aspek apa yang paling sulit dilakukan dalam kurikulum seperti yang didefinisikan John Saphier (2000). Kebanyakan guru menjawab aspek yang paling sulit adalah design, learning experiences, dan assessment.
Desain biasanya menyangkut aspek perencanaan pembelajaran sejenis lesson design atau RPP. Learning experiences terkait dengan bagaimana cara mengajarkan sebuah pokok bahasan, terutama menyangkut pilihan metode dan penggunaan instructional strategies guru. Sedangkan assessment biasanya guru lebih menyederhanakan masalah dengan kata evaluasi, atau tentang cara evaluasi anak didik. Namun sangat jarang dari para guru yang memilih objectives sebagai sumber kesulitan dalam proses implementasi kurikulum.
Kelemahan guru dalam membuat desain evaluasi juga dimungkinkan oleh tiga hal. Pertama, apa yang ada di dalam buku paket biasanya sangat bias dan tidak memiliki standar kualitas proses yang memadai sehingga guru sering terjebak pada orientasi hasil. Kedua, tes sejenis UN seperti mengeluarkan kewenangan guru, dan dalam waktu sama juga merendahkan kepercayaan diri guru untuk membuat pola tes berdasarkan kemampuan siswa.
Ketiga, dan ini yang biasa terjadi, biasanya bahasa dalam tes sejenis UN tidak sesuai dan seirama dengan konsep dan gaya mengajar guru. Padahal sejatinya antara cara mengajar berkesesuaian dengan apa yang akan diujikan (McMillan: 2007).
Sebab itu, penting untuk melakukan reformasi sistem penilaian terhadap proses pendidikan di Tanah Air. Tawaran untuk menggunakan pola performance assessment tampaknya penting untuk dipertimbangkan para pengambil kebijakan bidang pendidikan kita.
Kemajemukan Siswa
Seperti kata John Saphier (2000), “Assessment is the strongest medium there is for telling students, parents, school, campus, and the community what teachers care about in education”. Sebab itu, menuntut kompetensi guru di bidang evaluasi dan kebijakan otoritas pendidikan yang benar soal model evaluasi yang relevan bagi kemajemukan budaya, etnis, dan agama anak-anak Indonesia adalah imperatif bagi dunia pendidikan Tanah Air.
Semoga era reformasi yang ditandai dengan kehadiran SBY sebagai Presiden RI dalam dua periode tak meninggalkan warisan kelam bidang pendidikan seperti praktek yang salah tentang UN. Masih ada waktu, Pak SBY dan Pak Nuh untuk berbenah, sejauh pendidikan tidak didefinisikan sebagai proyek politik dan kepentingan ekonomi semata, sebagaimana kelaziman yang keliru dibuat orde sosialisme dan kapitalisme. (Sumber: Lampung Post, 23 April 2012

Sumber : 
Ahmad Baedowi, http://suaraguru.wordpress.com/2012/04/23/desain-evaluasi-pendidikan/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar